Jarum
jam di dinding ruang tamu sudah menunjuk angka sembilan. Gerimis yang turun sejak tadi pagi belum juga reda.
Dari
ruang tamu, di dekat jendela, Raga menatap jalan yang membetang di depan
rumahnya. Jalan yang setiap hujan
sedikit saja selalu tergenang air. Seperti pagi ini. Hujan yang turun selama sekitar
satu jam kemaren sore meninggalkan
genangan air di sepanjang jalan depan rumahnya. Termasuk jalan di wilayah rt
tetangga. Yang lebih parah, bagi rumah-rumah yang ketinggian lantainya sama
atau lebih rendah dengan jalan, rumah
itu pasti akan kemasukan air. Dan air itu baru akan surut setelah satu minggu. Sedang musim
hujan belum pasti kapan akan berhenti.
Situasi
seperti ini sudah terjadi sejak beberapa
tahun lalu. Berbagai upaya dari warga untuk mengatasi masalah itu sudah banyak dilakukan. Dari membersihkan
saluran, membuat sodetan sampai meninggikan/mengurug jalan dengan biaya
swadaya. Semua sudah ditempuh. Bahkan yang terakhir melalui kepala desa warga
sudah mengajukan bantuan perbaikan saluran kepada pemerintah kabupaten, tapi
sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Banjir masih setia menemani warga di
lingkungan rumah Raga.
Raga
menghela nafas.
“Kapan
ya lingkungan ini akan bebas dari banjir...........?”Gumamnya.
“Besok
kalau kamu jadi bupati.............” Tiba-tiba ibunya yang sudah beberapa
lama berada di belakang Raga nyeletuk.
“Ah
Ibu.............. bikin kaget aja.............” Sahut Raga sedikit terkejut.
“Habis
kamu sih........ pagi-pagi sudah ngelamun..........” Timpal ibunya sambil duduk
di kursi tamu. Raga mengikuti duduk di
hadapan Ibunya.
“O
ya.......... bagaimana kabar hubunganmu dengan si Nur.........” Tanya ibu Raga
sambil sesekali tangan kananya menggosok-gogokkan tembakau susur ke giginya. Perempuan
yang bertubuh kecil itu memang gemar “nginang”. Hingga meskipun usianya sudah
hampir tujuh puluh lima tahun giginya masih kelihatan kokoh.
“Ya...........
masih lancar............” Jawab Raga biasa-biasa saja.
“Maksud
Ibu.......... apakah kamu serius dengan si Nur............?”
Raga
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah ibunya lekat-lekat. “Kasihan
Ibu.......... diusianya yang sudah uzur beliau
belum bisa menimang cucu dari anaknya sendiri” kata hati Raga.
“Kalau
kamu memang sudah cocok dengan si Nur mbok ya sekali-kali anak itu diajak
kemari.” Lanjut Ibunya.
Raga
masih diam.
Memang,
sejak bertemu dengan Nurjanah, sampai dapat dibialang sudah menjadi pacarnya,
sama sekali Raga belum pernah mengajak Nurjanah ke rumahnya. Apalagi
memperkenalkan gadis pujaannya itu kepada orang tuanya. Bukan karena Raga tidak
serius menjalin hubungan dengan Nurjanah. Raga sedikit masih trauma dengan masa
lalunya. Tapi sebenarnya ia sudah pernah ngomong-ngomong soal keseriusan
hubungannya dengan Nurjanah. Dan Nurjanah tidak keberatan. Hanya saja hal ini
belum Raga ceritakan kepada ibunya.
“Apa
kamu masih trauma dengan masa lalu.............?” Tanya ibunya lebih lanjut,
seolah mengerti apa yang Raga pikirkan. “Anggap saja itu cobaan. Gusti Allah
sedang memilihkan jodoh buatmu yang lebih baik.” Lanjut ibunya.
“Bulan
depan usiamu sudah kepala tiga lho................ Jangan sampai nanti kalau anak-anakmu masih butuh perhatian kamu sudah
uzur........... Dan lagi Ibu kan sudah pingin nimang cucu..........” Kata
Ayahnya yang tiba-tiba muncul dan nimbrung pembicaraan ibunya.
“Iya............
yang pingin nimang cucu cuma ibu, ayah tidak......” Jawab ibunya yang disambut
tawa.
Di
luar gerimis sudah agak reda tapi mendung masih menutup langit. Dan pembicaraan
keluarga kecil itu masih berlanjut sampai adzan dhuhur berkumandang.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar