Malam
kian larut. Udara dingin menyusup ke dalam kamar. Sayup-sayup terdengar lonceng
gardu ronda di pukul duabelas kali. Suara jangkrik dan serangga malam lainnya bersahutan.
Sambil
berbaring di tempat tidur Raga mengamati cincin perak di tangannya. Cincin
perak berukir bunga-bunga. Bermata berlian.
Dimasukkannya
cincin itu ke jari kelingking tangan kirinya. Pas!.
Cincin
itu diterima Raga dari Nurjanah tadi
malam, saat ia mengantarkan Nurjanah pulang setelah diperkenalkan dengan Bapak
Ibunya.
“Untuk
ukuran kalau Mas Raga mau pesen cincin.” Kata Nurjanah saat itu setelah memberikan
cincin perak kepada Raga di teras rumahnya. “Beberapa hari mendatang saya akan
ke Jakarta nemui Bapak Ibu untuk matur kelanjutan rencana hubungan kita. “
Sambungnya.
“Kenapa
tidak nanti setelah kita pesen cincin saja.” Kata Raga saat itu sambil
menimang-nimang cincin pemberian Nurjanah.
“Ah.
Nanti kelamaan............, keburu kangen sama Bapak Ibu, terutama adik-adik......, sudah lama saya nggak ke
Jakarta.......” Lanjut Nurjanah.
Raga
manggut-manggut, mencoba memaklumi.
Dipandanginya
kembali cincin perak yang melingkar di
jari kiri kelingkingnya. “Semoga segalanya berjalan lancar” Kata Raga dalam hati, penuh harap.
Udara
dingin kembali menyusup ke kamar Raga. Tapi Raga tidak mempedulikan itu.
Angannya melayang, menembus kembali ke suasana pertemuan orang tuanya dengan
Nurjanah beberapa jam yang lalu.
Pertemuan
yang begitu akrab. Tidak ada rasa canggung
di antara mereka. Nurjanah dapat segera menyesuaikan diri. Dan orang tua Raga begitu senang bertemu dengan Nurjanah. Seolah
mereka sudah lama saling mengenal. Menyatu dan penuh familier. Tidak ada
kendala apapun. Pertemuan berjalan normal dan lancar.
Mengingat
pertemuan tadi, Raga tersenyum.
Pembicaraan yang diawali memperkenalkan Nurjanah kepada orang tuanya oleh Raga
terasa begitu hangat. Sampai pada pokok intinya, orang tua Raga menyampaikan
rencananya yang dalam waktu dekat akan melamar Nurjanah. Dan Nurjanah yang
sudah diberitahu Raga soal rencana acara lamaran ini, tidak merasa kaget. Ia
tersenyum, menganggukan kepalanya dan mengiyakan. Rasa gembira nampak menghiasi
rona Raga dan kedua orang tuanya.
Dan
sinar bulan pun mulai meninggalkan mendung. Meskipun tidak begitu cerah, malam itu nampak tenang. Damai menebarkan
mimpi di kamar tidur Raga. Hingga hari-hari yang dilalui Raga kemudian pun
terasa begitu lapang, penuh dengan bunga-bunga.
Masa kesendirian akan segera berakhir. Begitu yang ada dalam pikiran Raga.
Sejak
saat itu pembicaraan tentang persiapan lamaran pun kerap mengisi malam-malam
Raga dan orang tuanya. Dari masalah waktu lamaran sampai uborampe yang akan di
bawa saat melamar nanti. Hingga malam itu di ruang tengah, sambil nonton acara TV
pembicaraan mereka masuk pada season
cincin pertunangan.
“Kapan
kamu akan pesen cincin Nang.......?” Tanya Ibunya pada Raga. Nang adalah
panggilan ibunya kepada Raga sejak kecil. “Nang” bisa diartikan anak lanang
atau si nang.
“Sudah
kok Bu. Malah hampir jadi.” Jawab Raga.
“Lho!
Kapan kamu pesennya?! Kan si Nur masih di Jakarta?” Tanya Ibunya agak kaget.
“Iya
sih................ “ Jawab Raga sambil masuk kamarnya.
”Waktu
pulang dari sini itu di rumahnya si Nur memberikan cincin ini pada Raga, Bu.”
Lanjut Raga setelah keluar dari
kamar dan mengulurkan cincin perak bermata berlian itu
kepada Ibunya.
“Kata
si Nur itu untuk contoh. Kalau Raga mau pesen cincin, nggak usah nunggu si Nur pulang........
kelamaan katanya....” Lanjut Raga sambil duduk di samping Ibunya.
Sejenak
Ibu Raga mengamati cincin itu. Tiba-tiba dadanya berdegub. Lalu diilihatnya
mata cincin yang terbuat dari berlian
itu dari bawah. Mata Ibu Raga terbelalak!.
Kaget!. Di balik berlian itu terdapat garis yang membentuk hutuf R dan N. Hampir saja Ibu Raga berteriak.
Untung ia masih bisa menguasai diri. Sambil
menahan nafas di tatapnya kembali huruf yang ada dibalik cincin itu. Rasa tak
percaya memenuhi benaknya. Lalu dipandangi wajah Raga. Raga tidak mempedulikan
itu. Ia asik nonton acara tv.
“Pak
! Pak...............!” Panggil Ibu Raga pada Suaminya. “Lihat
nih..........!” Lanjut Ibu Raga sambil
mengulurkan cincin itu kepada suaminya yang baru keluar dari kamar. Setelah
membolak-balik cincin itu, dipegangnya lengan kanan isterinya. Keduanya masuk
kamar.
“Kok
bisa?!” Kata Ayah Raga dengan nada heran, setelah keduanya duduk di tepi tempat
tidur. Lalu Ibunya menyampaikan apa yang tadi di katakan Raga.
“Begini
saja, tempat itu masih Ibu simpan kan?” Tanya Ayah Raga. Ibu Raga faham maksud
pertanyaan suaminya lalu mengangguk. “Taruh cincin ini di tempat itu. Berikan
pada Raga suruh nyimpen. Kalau Nurjanah pulang suruh segera mengembalikan.” Lanjut
Ayah Raga.
Ibu
Raga segera membuka lemari pakaian. Dari sels-sela pakaian diambilnya cepok kecil tempat cincin yang
dilapisi kain beludru berwarna merah. Setelah memasukkan cincin itu kedalam
cepuk, mereka keluar kamar. Ayah Raga menuju ke ruang belakang, Ibu Raga
kembali duduk di sebelah Raga.
“Nih, simpen lagi.” Kata Ibu Raga sambil memberikan
cepok merah itu dalam keadaan terbuka.
“Wah!
Bagus banget tempat cincinnya Bu.” Ucap Raga sambil menutup cepuk itu.
“Udaaahhhhh.....
simpen sana......... nanti kalo si Nur pulang kembalikan segera. Kalo hilang
ketempuhan kamu........” Kata Ibunya.
Raga
masuk kamar. Dalam pikiran Ibu Raga berkelebat bayangan sebuah sungai dengan
gemericik air yang mengalir di sela-sela bebatuan. Sepasang muda-mudi asyik
bermain air. Tiba-tiba si cewek menjerit. Dipeluknya si cowok sambil kedua kakinya
silih berganti dihentak-hentakkan ke air. Celana keduanya basah. Si cowok
bingung. Si cewek masih menangis. Kini ganti tangan kirinya yang diulur-ulurkan
kepada si cowok sambil sesekali berkata............. cincin.... cincin.......!
Si cowok baru tahu setelah dilihatnya jari manis si cewek..............
polos............... tak ada cincin melingkar di sana....................... cincin
yang dipakai si cewek lolos...........hilang.............. terbawa arus!
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar