Siang
terus merambat. Sinar matahari yang hangat
di pagi hari kini mulai terasa panas. Di ruang tamu yang berukuran dua
setengah kali tiga meter dan berjendela nako itu Pak Hasan mengibas-ibaskan
kipas yang terbuat dari plastik. Heru melepaskan
jaketnya. Ruang tamu terasa gerah.
“Berita
Shooting Tukul Jalan-Jalan betul-betul menggegerkan kampung ini. Sampai
sekarang pun banyak orang yang masih penasaran dengan kebenaran kabar itu. “
Sambil kipas-kipas Pak Hasan melanjutkan ceritanya.
“Kalau dirunut sebenarnya kabar shooting tukul jalan-jalan itu tidak berdiri sendiri.
Ada rentetannya dengan peristiwa Nurjanah yang dilamar.” Sambung Pak Hasan.
Begitu
mendengar nama Nurjanah disebut Pak Denya, Heru agak kaget. Ia teringat temen
sekampusnya.
“Apa
hubungannya Pak De?!” Tanya Heru sambil
berusaha menyimpan rasa kagetnya.
“Kalau saja Nurjanah yang dilamar itu sebangsa
kita mungkin tidak akan ada berita Tukul Jalan-Jalan di desa ini.” Lanjut Pak
Hasan.
“Kamu tahu sendiri kan apa isi tayangan Tukul
Jalan-Jalan?” Kata Pak Hasan kemudian dengan nada tanya. Heru mengangguk.
”Itulah
pinternya si pembuat sensasi. Setelah muncul
peristiwa Nurjanah yang di lamar dengan versi yang bermacam-macam,
diluncurkan informasi tentang akan
adanya Shoting Tukul Jalan-Jalan di desa ini untuk mengungkap keberadaan “Nurjanah”.
Sambung Pak Hasan.
Heru
makin penasaran dengan apa yang disampaikan Pak Denya. Rasa penasaran itu bukan
karena berita shoting Tukul Jalan-Jalan tapi karena “Nurjanahnya.” Sebab
menurut keterangan di sekitar tempat tinggal Pak Denya tidak ada warga yang bernama
Nurjanah. Lalu siapa Nurjanah teman sekapusnya?
Adzan
dhuhur terdengar berkumandang dari masjid.
“Kita
ke masjid dulu yuk.......” Ajak Pak Hasan. Heru mengangguk. Setelah Pak Hasan
berganti pakaian, di bawah terik siang, keduanya melangkah menuju masjid.
Selesai
jamaah sholat dhuhur, dari teras masjid,
sepintas Heru mengamati suasana sekeliling. Ada tower air. Pos Kampling. Sawah
dan di ujung sana ............kuburan.
Sepanjang
jalan dari masjid menuju rumah Pak Denya pikiran Heru diliputi tanda tanya. Ia
pernah diberi ancer-ancer alamat rumah Nurjanah teman sekampusnya, persis
seperti yang tadi dilihatnya di seputar masjid. Di lingkungan itulah Nurjanah
memberikan alamat rumahnya. Tapi....... di mana rumah itu?
Sebenarnya
Heru berencana mau mampir ke rumah Nurjanah seperti yang pernah ia katakan di
kampus beberapa waktu yang lalu. Tapi.............
“Kenapa
Her................. dari tadi kok kayak ada yang dipikirkan.......?! Tanya Pak
Hasan setelah keduanya kembali memasuki rumah. Heru tergagap.
“Ah!
Nggak ada apa-apa kok Pak De.” Jawab Heru berusaha menutupi apa yang ia
pikirkan. Pak Hasan menatap Heru. Lalu tersenyum sendiri.
“Pak.........
Nak Heru diajak makan dulu..............” Kata Bu Hasan yang tiba-tiba muncul dari dalam.
“O
ya....... ayo makan dulu............ nanti ceritanya gampang dilanjut
lagi.....” Ajak Pak Hasan sambil beranjak ke ruang dalam. Heru mengikuti dari
belakang.
Di
ruang tengah, di atas tikar, Bu Hasan sudah
menyiapkan menu makan siang. Sayur Asem,
sambal tomat, pecak ikan cucut dan tempe goreng seksi.
“Hemmmmmm...........
menu yang cocok untuk suasana siang yang panas” seloroh Pak Hasan, setelah
melihat hidangan makan siang yang disajikan isterinya.
“Aaahh...........
Bapak bisa aja........” Sahut Bu Hasan yang disambut tawa Pak Hasan dan Heru.
Dan
matahari masih memancarkan sinar teriknya. Pelan tapi pasti menggelincir ke
barat. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar