Di luar Mall gerimis mulai turun. Di dalam, Raga ( bukan nama
sebenarnya) agak gelisah. Sesekali ia
melihat jam yang melilit pergelangan tangannya.
“Jam 20.30 menit............. sebentar lagi mall akan
tutup.....” gumamnya. Di hadapannya seorang gadis sedang asyik melihat-lihat
pakaian yang terpajang. Suasana mall sudah agak sepi. Satu persatu
pengunjung mulai keluar.
Raga menarik nafas pelan. Dipandangnya gadis yang sedang
asyik membolak-balik pakaian. Ini untuk kali ketiga Raga mengajak jalan-jalan
sang pujaan sejak mereka berkenalan.
Meskipun sudah hampir tiga bulan berkenalan Raga merasa belum percaya kalau ia bisa bertemu dan berkenalan
dengan gadis yang dihadapannya itu. Rasa ketidak percayaan itu muncul karena
selama ini Raga hampir putus asa soal
wanita.
Diusianya yang hampir
kepala tiga, sudah dua kali ia mengalami
kegagalan cinta yang serius. Bukan
karena wajah yang kurang tampan atau ekonimi yang tidak mapan. Kegagalan demi
kegagalan cinta Raga ia alami karena “musibah”. Dan kedua-duanya itu terjadi saat menjelang pertunangan.
Terbayang dalam benak Raga bagaimana ia menjalin cinta
pertama dengan teman sekelasnya. Cinta anak SMA yang penuh warna bunga. Saling
sayang tanpa dicampuri gejolak nafsu. Yang ada hanya rindu untuk selalu
bertemu. Dan bunga-bunga cinta yang mekar itu terus bersemi sampai keduanya
tamat dari SMA. Namun impian mereka untuk hidup bersama betul-betul hanya
impian. Bahtera cinta kandas tertumbuk
karang.
Ya, kegagalan cinta pertamanya ia alami dua tahun setelah
lulus sekolah. Waktu itu Raga sudah menentukan hari pertunangannya dengan gadis
yang menjadi pacarnya sejak kelas 2 SMA.
Tapi malang tak dapat ditolak. Hanya gara-gara Raga tidak kuliah dan hanya
karena penerus usaha orang tuanya
sebagai petani gurem, cinta keduanya
kandas ditengah lautan. Tertumbuk batu karang
orang tua sang gadis yang notabene sebagai “saudagar”.
Sejak kegagalan cinta pertamanya, Raga fokus membantu usaha
orang tuanya. Waktunya betul-betul disibukkan untuk menekuni perjalanan usaha orang tuanya antara sawah dan
rice mill. Ia tak tega melihat kondisi orang tuanya yang sudah mulai uzur harus
bolak balik ke sawah dan rice mill. Dan ini berjalan hampir tiga tahun. Andai saja anak pemilik rice mill itu tidak
mengejar-ngejar cinta Raga mungkin ia tidak akan mengalami putus cinta yang kedua kalinya.
Kegagalan cinta yang tragis. Gadis anak pemilik rice mill itu
meninggal setelah kecelakaan. Mengalami gagar otak dan pergi untuk
selama-lamanya. Cinta sudah terkubur. Barangkali itulah perjalanan cinta yang
harus ia alami.
“Mas......... sudah mau tutup.......” tiba-tiba security sudah berdiri
di hadapannya. Raga tergagap. Segera ia menarik lengan gadis itu, keluar
dari mall.
Di luar malam semakin larut. Dingin menggigit kulit dan gerimis
masih terus menetes. Sesekali harum melati melintas di hidung Raga.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar