Rabu, 09 Maret 2016

Cerita Misteri “MELAMAR NURJANAH” (Episode 9)

Sore ini langit agak mendung. Angin bertiup pelan. Matahari merambat, meraih kaki langit. Sisa-sisa panas yang dibawanya masih mengendap di dasar ruang.

Di bawah bayang-bayang gerhana matahari esok hari tadi, cerita misteri “MELAMAR NURJANAH” kini telah berbenah. Lembar demi lembar cerita yang telah terbaca segera sampai di ujung kata. Rasa pahit, manis, asin atau ............... yang pasti...........hambar,  telah menyentuh lidah. Karena Raga masih terjaga.

Sejak sholat asar Raga tidak keluar dari kamar. Ia duduk di kursi dekat meja tulis. Kedua sikunya ditumpukan di atas meja. Telapak tangan kiri menopang pipi kirinya sedang telunjuk dan jempol tangan kananya memutar-mutar sebuah cincin. Pandangannya kosong, meskipun tatapan matanya tertuju pada cincin perak yang diputar-putarnya.

Sudah beberapa hari ini Raga mengurung diri di kamar. Wajahnya murung dan jarang bicara.

Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, Ibu Raga memperhatikan anak satu-satunya. Matanya berkaca-kaca.

“Ya Allah............... mengapa Engkau terus menerus berikan cobaan  pada anak kami.” Ratap Ibu Raga dalam hatinya. “Ampuni segala dosa kami ya Allah...........” Lanjutnya sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Kesedihan telah menyelimuti hati Ibu Raga.

Mendung masih meggelantung di bawah langit. Kegelapan pelan-pelan menerobos ruang, menyeret angan Ibu Raga  menuju lintasan peristiwa lamaran beberapa hari yang lalu. Acara lamaran yang dibayangkan akan berjalan mulus dan penuh dengan rasa suka cita, terpuruk  di hamparan ketidak percayaan atas peristiwa yang ditemui.

Terbayang wajah seorang lelaki paruhbaya yang  keluar dari makam dengan menuntun sepeda tuanya. Pak Hasan, seorang juru kunci makam itulah yang telah menguak tabir perjalanan cinta anaknya.

“Sebelumnya saya minta maaf Bu, Pak ................” Kata Pak Hasan membuka pembicaraan  dengan  rombongan keluarga Ibu Raga.

“Sengaja Ibu, Bapak dan rombongan saya bawa ke rumah dengan maksud agar tidak menimbulkan kecurigaan warga sini dan orang-orang yang lewat.” Lanjutnya. Pak Hasan menghela nafas. Di tatapnya Ibu dan Bapak Raga.

“Peristiwa seperti ini sudah beberapa kali terjadi................ perempuan yang Ibu Bapak akan lamar itu memang suka berbuat “iseng”.............” Kata Pak Hasan kemudian.

“Maksud Pak Hasan............?” Tanya Ibu dan Bapak Raga hampir bersamaan.

“Nuwunsewu......... Bu.......Pak.......... Secara wadag di lingkungan sini tidak ada warga yang bernama Nurjanah. Apalagi anaknya  masih muda dan cantik.........., seperti apa yang tadi Ibu sampaikan, sewaktu di jalan.” Kata Pak Hasan kemudian.  Ibu Raga memandangi suaminya.
“Dan rumah yang Ibu, Bapak tuju.......... secara kasad mata........., seperti yang juga tadi panjenengan semua lihat sendiri, di seputar masjid........... rumha itu tidak ada!” Lanjut Pak Hasan.
Seluruh rombongan  yang ada di ruang tamu rumah Pak Hasan kaget, saling tatap. Sejenak suasana hening.  Lalu Pak Hasan menjelaskan, atau lebih tepatnya meneruskan ceritanya   tentang Nurjanah, Rumah Tua dan peristiwa-peristiwa “aneh” yang kerap terjadi di seputar makam itu, sepengetahuannya.

“Jadi..............” Kata Ibu Raga terputus. Ah! Hampir saja Ibu Raga pingsan begitu mendengar penjelasan Pak Hasan. Tangan Ayah Raga segera meraih pundak isterinya. Dipeluknya erat-erat. Ruang tamu itu tambah hening. Dipikiran mereka kini berkecamuk antara rasa percaya dan tidak.       

Senja makin lekat merapatkan dirinya ke pelukan  malam.  Suara pengajian menjelang maghrib  dari toa masjid telah terdengar.  Dua buah mobil yang membawa rombongan pun pelan-pelan meninggalkan rumah Pak Hasan. Meluncur, melewati jalan desa. Menembus senja yang telah direnggut malam.

Dan malam selalu rapih menyimpan berjuta misteri yang tak pernah akan selesai untuk diungkap. (Salam)




Cerita Misteri “MELAMAR NURJANAH” (Episode 8)


Malam kian larut. Udara dingin menyusup ke dalam kamar. Sayup-sayup terdengar lonceng gardu ronda di pukul duabelas kali. Suara jangkrik dan serangga malam lainnya bersahutan.

Sambil berbaring di tempat tidur Raga mengamati cincin perak di tangannya. Cincin perak berukir bunga-bunga. Bermata berlian.

Dimasukkannya cincin itu ke jari kelingking tangan kirinya. Pas!.

Cincin itu diterima Raga dari Nurjanah  tadi malam, saat ia mengantarkan Nurjanah pulang setelah diperkenalkan dengan Bapak Ibunya.

“Untuk ukuran kalau Mas Raga mau pesen cincin.” Kata Nurjanah saat itu setelah memberikan cincin perak kepada Raga di teras rumahnya. “Beberapa hari mendatang saya akan ke Jakarta nemui Bapak Ibu untuk matur kelanjutan rencana hubungan kita. “ Sambungnya.
“Kenapa tidak nanti setelah kita pesen cincin saja.” Kata Raga saat itu sambil menimang-nimang cincin pemberian Nurjanah.
“Ah. Nanti kelamaan............, keburu kangen sama Bapak Ibu, terutama  adik-adik......, sudah lama saya nggak ke Jakarta.......” Lanjut Nurjanah.

Raga manggut-manggut, mencoba memaklumi.

Dipandanginya  kembali cincin perak yang melingkar di jari kiri kelingkingnya. “Semoga segalanya berjalan lancar” Kata Raga  dalam hati, penuh harap.

Udara dingin kembali menyusup ke kamar Raga. Tapi Raga tidak mempedulikan itu. Angannya melayang, menembus kembali ke suasana pertemuan orang tuanya dengan Nurjanah beberapa jam yang lalu.

Pertemuan yang begitu  akrab. Tidak ada rasa canggung di antara mereka. Nurjanah dapat segera menyesuaikan diri. Dan orang tua Raga  begitu senang bertemu dengan Nurjanah. Seolah mereka sudah lama saling mengenal. Menyatu dan penuh familier. Tidak ada kendala apapun. Pertemuan berjalan normal dan lancar.

Mengingat pertemuan tadi,  Raga tersenyum. Pembicaraan yang diawali memperkenalkan Nurjanah kepada orang tuanya oleh Raga terasa begitu hangat. Sampai pada pokok intinya, orang tua Raga menyampaikan rencananya yang dalam waktu dekat akan melamar Nurjanah. Dan Nurjanah yang sudah diberitahu Raga soal rencana acara lamaran ini, tidak merasa kaget. Ia tersenyum, menganggukan kepalanya dan mengiyakan. Rasa gembira nampak menghiasi rona Raga dan kedua orang tuanya.

Dan sinar bulan pun mulai meninggalkan mendung. Meskipun tidak begitu cerah,  malam itu nampak tenang. Damai menebarkan mimpi di kamar tidur Raga. Hingga hari-hari yang dilalui Raga kemudian pun terasa  begitu lapang, penuh dengan bunga-bunga. Masa kesendirian akan segera berakhir. Begitu yang ada dalam pikiran Raga.

Sejak saat itu pembicaraan tentang persiapan lamaran pun kerap mengisi malam-malam Raga dan orang tuanya. Dari masalah waktu lamaran sampai uborampe yang akan di bawa saat melamar nanti. Hingga malam itu di ruang tengah, sambil nonton acara TV pembicaraan  mereka masuk pada season cincin pertunangan.

“Kapan kamu akan pesen cincin Nang.......?” Tanya Ibunya pada Raga. Nang adalah panggilan ibunya kepada Raga sejak kecil. “Nang” bisa diartikan anak lanang atau si nang.
“Sudah kok Bu. Malah hampir jadi.” Jawab Raga.
“Lho! Kapan kamu pesennya?! Kan si Nur masih di Jakarta?” Tanya Ibunya agak kaget.
“Iya sih................ “ Jawab Raga sambil masuk kamarnya.
”Waktu pulang dari sini itu di rumahnya si Nur memberikan cincin ini pada Raga, Bu.” Lanjut  Raga setelah keluar dari kamar  dan  mengulurkan cincin perak bermata berlian itu kepada Ibunya.
“Kata si Nur itu untuk contoh. Kalau Raga mau pesen cincin,  nggak usah nunggu si Nur pulang........ kelamaan katanya....” Lanjut Raga sambil duduk di samping Ibunya.

Sejenak Ibu Raga mengamati cincin itu. Tiba-tiba dadanya berdegub. Lalu diilihatnya mata cincin yang terbuat  dari berlian itu dari bawah. Mata Ibu Raga  terbelalak!. Kaget!. Di balik berlian itu terdapat garis yang membentuk  hutuf R dan N. Hampir saja Ibu Raga berteriak. Untung ia masih bisa menguasai diri.  Sambil menahan nafas di tatapnya kembali huruf yang ada dibalik cincin itu. Rasa tak percaya memenuhi benaknya. Lalu dipandangi wajah Raga. Raga tidak mempedulikan itu. Ia asik nonton acara tv.

“Pak ! Pak...............!” Panggil Ibu Raga pada Suaminya. “Lihat nih..........!”  Lanjut Ibu Raga sambil mengulurkan cincin itu kepada suaminya yang baru keluar dari kamar. Setelah membolak-balik cincin itu, dipegangnya lengan kanan isterinya. Keduanya masuk kamar.

“Kok bisa?!” Kata Ayah Raga dengan nada heran, setelah keduanya duduk di tepi tempat tidur. Lalu Ibunya menyampaikan apa yang tadi di katakan Raga.
“Begini saja, tempat itu masih Ibu simpan kan?” Tanya Ayah Raga. Ibu Raga faham maksud pertanyaan suaminya lalu mengangguk. “Taruh cincin ini di tempat itu. Berikan pada Raga suruh nyimpen. Kalau Nurjanah pulang suruh segera mengembalikan.” Lanjut Ayah Raga.

Ibu Raga segera membuka lemari pakaian. Dari sels-sela pakaian  diambilnya cepok kecil tempat cincin yang dilapisi kain beludru berwarna merah. Setelah memasukkan cincin itu kedalam cepuk, mereka keluar kamar. Ayah Raga menuju ke ruang belakang, Ibu Raga kembali duduk di sebelah Raga.

“Nih,  simpen lagi.” Kata Ibu Raga sambil memberikan cepok merah itu dalam keadaan terbuka.
“Wah! Bagus banget tempat cincinnya Bu.” Ucap Raga sambil menutup cepuk itu.
“Udaaahhhhh..... simpen sana......... nanti kalo si Nur pulang kembalikan segera. Kalo hilang ketempuhan kamu........” Kata Ibunya.


Raga masuk kamar. Dalam pikiran Ibu Raga berkelebat bayangan sebuah sungai dengan gemericik air yang mengalir di sela-sela bebatuan. Sepasang muda-mudi asyik bermain air. Tiba-tiba si cewek menjerit. Dipeluknya si cowok sambil kedua kakinya silih berganti dihentak-hentakkan ke air. Celana keduanya basah. Si cowok bingung. Si cewek masih menangis. Kini ganti tangan kirinya yang diulur-ulurkan kepada si cowok sambil sesekali berkata............. cincin.... cincin.......! Si cowok baru tahu setelah dilihatnya jari manis si cewek.............. polos............... tak ada cincin melingkar di sana....................... cincin yang dipakai si cewek lolos...........hilang.............. terbawa arus! (Bersambung)

Cerita Misteri “MELAMAR NURJANAH” (Episode 7)


Siang terus merambat. Sinar matahari yang hangat  di pagi hari kini mulai terasa panas. Di ruang tamu yang berukuran dua setengah kali tiga meter dan berjendela nako itu Pak Hasan mengibas-ibaskan kipas yang terbuat dari plastik. Heru  melepaskan jaketnya. Ruang tamu terasa gerah.

“Berita Shooting Tukul Jalan-Jalan betul-betul menggegerkan kampung ini. Sampai sekarang pun banyak orang yang masih penasaran dengan kebenaran kabar itu. “ Sambil kipas-kipas Pak Hasan melanjutkan ceritanya.

 “Kalau dirunut sebenarnya kabar  shooting tukul jalan-jalan itu tidak berdiri sendiri. Ada rentetannya dengan peristiwa Nurjanah yang dilamar.” Sambung  Pak Hasan.

Begitu mendengar nama Nurjanah disebut Pak Denya, Heru agak kaget. Ia teringat temen sekampusnya.

“Apa hubungannya Pak De?!”  Tanya Heru sambil berusaha menyimpan rasa kagetnya.
 “Kalau saja Nurjanah yang dilamar itu sebangsa kita mungkin tidak akan ada berita Tukul Jalan-Jalan di desa ini.” Lanjut Pak Hasan.
 “Kamu tahu sendiri kan apa isi tayangan Tukul Jalan-Jalan?” Kata Pak Hasan kemudian dengan nada tanya.  Heru mengangguk.
”Itulah pinternya si pembuat sensasi. Setelah muncul  peristiwa Nurjanah yang di lamar dengan versi yang bermacam-macam, diluncurkan informasi  tentang akan adanya Shoting Tukul Jalan-Jalan di desa ini untuk mengungkap keberadaan “Nurjanah”. Sambung Pak Hasan.

Heru makin penasaran dengan apa yang disampaikan Pak Denya. Rasa penasaran itu bukan karena berita shoting Tukul Jalan-Jalan tapi karena “Nurjanahnya.” Sebab menurut keterangan di sekitar tempat tinggal Pak Denya tidak ada warga yang bernama Nurjanah. Lalu siapa Nurjanah teman sekapusnya?

Adzan dhuhur terdengar berkumandang dari masjid.

“Kita ke masjid dulu yuk.......” Ajak Pak Hasan. Heru mengangguk. Setelah Pak Hasan berganti pakaian, di bawah terik siang, keduanya melangkah menuju masjid.

Selesai jamaah sholat dhuhur,  dari teras masjid, sepintas Heru mengamati suasana sekeliling. Ada tower air. Pos Kampling. Sawah dan di ujung sana ............kuburan.

Sepanjang jalan dari masjid menuju rumah Pak Denya pikiran Heru diliputi tanda tanya. Ia pernah diberi ancer-ancer alamat rumah Nurjanah teman sekampusnya, persis seperti yang tadi dilihatnya di seputar masjid. Di lingkungan itulah Nurjanah memberikan alamat rumahnya. Tapi....... di mana rumah itu?

Sebenarnya Heru berencana mau mampir ke rumah Nurjanah seperti yang pernah ia katakan di kampus beberapa waktu yang lalu. Tapi.............

“Kenapa Her................. dari tadi kok kayak ada yang dipikirkan.......?! Tanya Pak Hasan setelah keduanya kembali memasuki rumah. Heru tergagap.
“Ah! Nggak ada apa-apa kok Pak De.” Jawab Heru berusaha menutupi apa yang ia pikirkan. Pak Hasan menatap Heru. Lalu tersenyum sendiri.
“Pak......... Nak Heru diajak makan dulu..............” Kata Bu Hasan yang tiba-tiba  muncul dari dalam.
“O ya....... ayo makan dulu............ nanti ceritanya gampang dilanjut lagi.....” Ajak Pak Hasan sambil beranjak ke ruang dalam. Heru mengikuti dari belakang.
Di ruang tengah, di atas tikar,  Bu Hasan sudah  menyiapkan menu makan siang. Sayur Asem, sambal tomat, pecak ikan cucut dan tempe goreng seksi.
“Hemmmmmm........... menu yang cocok untuk suasana siang yang panas” seloroh Pak Hasan, setelah melihat hidangan makan siang yang disajikan isterinya.
“Aaahh........... Bapak bisa aja........” Sahut Bu Hasan yang disambut tawa Pak Hasan dan Heru.

Dan matahari masih memancarkan sinar teriknya. Pelan tapi pasti menggelincir ke barat. (Bersambung)

Cerita Misteri “MELAMAR NURJANAH” (Episode 6)

Pak Hasan baru saja menyelesaikan sarapan dan  siap-siap hendak ke luar rumah lewat pintu samping. Sebuah sepeda motor memasuki halaman rumahnya. Seorang pemuda turun dari motor lalu berjalan menuju pintu depan. Tangan kirinya menjinjing kardus bekas bungkus minuman.
Langit cerah dan matahari menebarkan hangat sinarnya ke seluruh alam.
“Assalau’alaikum......................” Pemuda itu uluk salam.
“Wa’alaikumsalam..................” Jawab Pak Hasan sambil berjalan ke arah pintu depan. “Eee..... kamu nang...........” Sambut Pak Hasan setelah membukakan pintu.
“Ya Pak De................... Sugeng Pak De.................” Kata pemuda itu sambil tangannya menjabat tangan Pak Hasan lalu menciumnya.
“Alkhamdulillah............. sehat...........” Jawab Pak Hasan. ”Bu............... ada Heru nich............” Pak Hasan memanggil isterinya. Dari dapur Bu Hasan tergopoh-gopoh menemui Heru. Heru menjabat tangan Bu Hasan, menciumnya seperti yang dilakukan kepada Pak Hasan. Lalu mengulurkan bingkisan yang dibawanya.
“Dari Ibu........... sekedar oleh-oleh Bu De............” Ucap Heru.
“Ah.............. kok ndadak repot-repot. Kamu main ke sini aja Pak De sama  Bu De sudah senang kok.” Sahut Bu Hasan lalu mempersilahkan Heru duduk. Setelah melepas tas punggungnya Heru duduk di kursi tamu yang terbuat dari bambu. Bu Hasan kembali ke dapur.
“Bagaimana kabar Bapak Ibu............” Tanya Pak Hasan membuka pembicaraan.
“Alkhamdulillah sehat Pak De.” Jawab Heru.
Yang dimaksud Bapak Ibu oleh Pak Hasan adalah kedua orang tua Heru. Ibu Heru adik satu-satunya dari Bu Hasan. Satu tahun yang lalu hubungan keduanya sempat renggang. Masalahnya soal warisan. Sampai lebaran terakhir kemaren pun hanya Heru yang silaturahmi ke rumah Pak Hasan.
“Kuliahmu bagaimana?” Tanya Pak Hasan kemudian.
“Masih Pak De........... Tapi sekarang saya ambil yang berangkat malam. Siangnya biar bisa bantu Bapak di bengkel.”
“Syukurlah............” Sahut Pak Hasan sambil nyumet rokok kesukaannya.
Bu Hasan keluar dari ruang tengah, membawa dua gelas teh dan setoples kacang kulit.
“Diminum Her.............. ” Kata Bu Hasan setelah meletakkan dua gelas teh dan setoples kacang kulit di meja. “Saya tinggal ke dapur dulu ya?!” Lanjut Bu Hasan lalu kembali masuk.
“Maturnwun Bu De...........” Kata Heru sambil menatap punggung Bu Denya.
“O ya Pak De......... di kuburan sini  katanya kemaren ada shooting Tukul Jalan-Jalan ya?” Tanya Heru kemudian.
Mendengar pertanyaan itu Pak Hasan yang sedang minum tersedak. Rokok yang terselip di jari tangan kirinyapun terjatuh. Heru kaget, berusaha meraih Pak Hasan. Tapi Pak Hasan malah tertawa sambil mengambil rokok yang baru saja terjatuh.
“Beritanya sampai ke tempatmu ya?” Tanya Pak Hasan.
“Iya Pak De.............. malah beberapa temen mau ngajak saya melihat itu”Jawab Heru.
“Kenapa nggak ikut?!”Lanjut Pak Hasan.
“Jadi betul ada Pak De..............?!” Tanya Heru penasaran. Pak Hasan tersenyum.
“Hebat memang...........!” Ucap Pak Hasan.
“Siapa Pak De?”Tanya Heru makin penasaran.
“Orang yang pertama menyebarkan berita itu.” Sambung Pak Hasan sambil menghirup teh anget buatan Isterinya. “Diminum dulu Her..........” Lanjut Pak Hasan.
Heru mengambil gelas. Pak Hasan Menarik nafas pelan. Pikirannya melayang ke peristiwa malam itu. Sejak dari habis maghrib sampai jam sembilan malam boleh dikata hp  Pak Hasan tidak berhenti berdering. Kalau tidak  sms, telephon. Isinya sama, menanyakan kebenaran kabar kedatangan Tukul yang malam itu akan Shoothing “Tukul Jalan-Jalan” di seputar makam yang   setiap hari diampunya.
Kalau saja hp Pak Hasan  tidak dimatikan atas saran isterinya, barangkali akan tetap berbunyi sampai pagi.
Tidak hanya itu. Rumahnya pun kebanjiran tamu. Dari saudara, teman dan kenalan yang datang dari dalam dan luar kota. Bahkan di sepanjang jalan desanya dan jalan yang mengubungkan desa tetangga, kendaraan roda dua maupun roda empat, kebanyakan roda dua, “tumplek bleg” menuju arah makam.  
Malam itu benar-benar menjadi malam yang istimawa bagi desa Pak Hasan. (bersambung)


Cerita Misteri “MELAMAR NURJANAH” (Episode 5)

Jarum jam di dinding ruang tamu sudah menunjuk angka sembilan. Gerimis yang  turun sejak tadi pagi belum juga reda.

Dari ruang tamu, di dekat jendela, Raga menatap jalan yang membetang di depan rumahnya.  Jalan yang setiap hujan sedikit saja selalu tergenang air. Seperti pagi ini. Hujan yang turun selama sekitar satu jam  kemaren sore meninggalkan genangan air di sepanjang jalan depan rumahnya. Termasuk jalan di wilayah rt tetangga. Yang lebih parah, bagi rumah-rumah yang ketinggian lantainya sama atau lebih rendah dengan jalan,  rumah itu pasti akan kemasukan air. Dan air itu baru  akan surut setelah satu minggu. Sedang musim hujan belum pasti kapan akan berhenti.

Situasi seperti  ini sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Berbagai upaya dari warga untuk mengatasi masalah  itu sudah banyak dilakukan. Dari membersihkan saluran, membuat sodetan sampai meninggikan/mengurug jalan dengan biaya swadaya. Semua sudah ditempuh. Bahkan yang terakhir melalui kepala desa warga sudah mengajukan bantuan perbaikan saluran kepada pemerintah kabupaten, tapi sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Banjir masih setia menemani warga di lingkungan rumah Raga.

Raga menghela nafas.

“Kapan ya lingkungan ini akan bebas dari banjir...........?”Gumamnya.
“Besok kalau kamu jadi bupati.............” Tiba-tiba ibunya yang sudah beberapa lama  berada di belakang Raga nyeletuk.
“Ah Ibu.............. bikin kaget  aja.............” Sahut Raga sedikit terkejut.
“Habis kamu sih........ pagi-pagi sudah ngelamun..........” Timpal ibunya sambil duduk di kursi tamu. Raga mengikuti  duduk di hadapan Ibunya.
“O ya.......... bagaimana kabar hubunganmu dengan si Nur.........” Tanya ibu Raga sambil sesekali tangan kananya menggosok-gogokkan tembakau susur ke giginya. Perempuan yang bertubuh kecil itu memang gemar “nginang”. Hingga meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh lima tahun giginya masih kelihatan kokoh.
“Ya........... masih lancar............” Jawab Raga biasa-biasa saja.
“Maksud Ibu.......... apakah kamu serius dengan si Nur............?”
Raga tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah ibunya lekat-lekat. “Kasihan Ibu.......... diusianya yang sudah uzur beliau  belum bisa menimang cucu dari anaknya sendiri” kata hati Raga.
“Kalau kamu memang sudah cocok dengan si Nur mbok ya sekali-kali anak itu diajak kemari.” Lanjut Ibunya.

Raga masih diam.

Memang, sejak bertemu dengan Nurjanah, sampai dapat dibialang sudah menjadi pacarnya, sama sekali Raga belum pernah mengajak Nurjanah ke rumahnya. Apalagi memperkenalkan gadis pujaannya itu kepada orang tuanya. Bukan karena Raga tidak serius menjalin hubungan dengan Nurjanah. Raga sedikit masih trauma dengan masa lalunya. Tapi sebenarnya ia sudah pernah ngomong-ngomong soal keseriusan hubungannya dengan Nurjanah. Dan Nurjanah tidak keberatan. Hanya saja hal ini belum Raga ceritakan kepada ibunya.

“Apa kamu masih trauma dengan masa lalu.............?” Tanya ibunya lebih lanjut, seolah mengerti apa yang Raga pikirkan. “Anggap saja itu cobaan. Gusti Allah sedang memilihkan jodoh buatmu yang lebih baik.” Lanjut ibunya.
“Bulan depan usiamu sudah kepala tiga lho................  Jangan sampai nanti kalau anak-anakmu  masih butuh perhatian kamu sudah uzur........... Dan lagi Ibu kan sudah pingin nimang cucu..........” Kata Ayahnya yang tiba-tiba muncul dan nimbrung pembicaraan ibunya.
“Iya............ yang pingin nimang cucu cuma ibu, ayah tidak......” Jawab ibunya yang disambut tawa.


Di luar gerimis sudah agak reda tapi mendung masih menutup langit. Dan pembicaraan keluarga kecil itu masih berlanjut sampai adzan dhuhur berkumandang. (bersambung)

Jumat, 04 Maret 2016

Cerita Misteri “MELAMAR NURJANAH” (Episode 4)

Menjelang maghrib, sepeda motor matic warna merah keluar dari pintu gerbang rumah tua diujung desa. Hari mulai gelap. Gerimis pun perlahan  turun. Lampu-lampu jalan dan teras rumah penduduk mulai dinyalakan. Beberapa orang nampak berjalan menuju masjid yang ada di dekat rumah tua itu.

Dengan agak terburu-buru Nurjanah melarikan  motornya menerobos gerimis yang mulai membasahi jalan desa. Bau wangi yang ditinggalkan menyentak hidung Pak Hasan yang sedang berjalan menuju masjid bersama isterinya.

“Jam segini Nurjanah sudah keluar nih Bu..........” Kata Pak Hasan pada Isterinya.
“Kok Bapak tahu?”
“Apa Ibu nggak mencium sesuatu?” Kata Pak Hasan balik bertanya.
“Iya sih..........”
“Ini bau wangi khas Nurjanah............ harum tapi mengandung mistis........”
“Ah Bapak............... bikin takut aja..........” Kata isterinya sambil meraih  lengan tangan kiri Pak Hasan  yang memegang payung.

Adzan maghrib sudah terdengar dari toa masjid. Malam mulai merangkak pelan.

Nurjanah menghentikan sepeda  motornya di parkiran kampus. Pandangannya menyapu seluruh area bangunan kampus yang megah itu. Sepi. Mahasiswa yang kuliah malam belum pada datang. Setelah mengunci sepeda motor, melepas helm dan menyisir rambutnya yang tergerai kebahu, Nurjanah berjalan menuju ruang kuliah fakultas ekonomi. Ia mengambil tempat duduk di pojok belakang dekat dinding. Bangku-bangku lainnya masih kosong. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya depan kampus, sayup-sayup terdengar menyusup ruang.

Tidak begitu lama, sepasang mahasiswa masuk. Keduanya berjalan nampak mesra. Tangan kanan si cewek memeluk pinggang cowoknya. Sedang tangan kiri si cowok merangkul pundak si cewek. Sambil berjalan menuju bangku belakang sesekali kecupan kecil si cowok mendarat di pipi si cewek. Mereka mengambil tempat duduk di pojok belakang. Melihat tingkah mereka dari pojok seberang, Nurjanah senyum-senyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ah............... bau apa ini............?” Tiba-tiba si cewek nyeletuk. Dipandanginya seluruh ruangan. Sepi.
“Bau apa sih.........?” Tanya si cowok sambil menggerak-gerakkan ujung hidungnya.
“Kayak bau..............”
Cewek itu tidak malanjutkan ucapannya karena dilihatnya ada beberapa mahasiswa yang masuk ruangan. Bulu kuduknya berdiri. Merindnig........! Kursi-kursi  kosong di ruang kuliah itu mulai terisi. Mahasiswa yang masuk belakangan mengambil tempat duduk persis di samping Nurjanah. Beberapa kursi  depan dan samping mereka tampak kosong.
“Hai............” Sapa mahasiswa itu pada Nurjanah agak berbisik.
“Hai juga............” Jawab Nurjanah.
“Kok di belakang?” Tanya mahasiswa itu kemudian.
“Pingin aja......” Jawab Nurjanah sekenanya.
“Bagaimana kabar Pak Hasan? Masih jadi juru kunci makam?” Mahasiswa itu menanyakan kabar familinya yang sekampung dengan Nurjanah.
“Masih............. Beliau itu orangnya sregep lho.............. tlaten.........” Jawab Nurjanah memuji Pak Hasan juru kunci makam di desanya.
“Kapan-kapan aku mau ke rumah Pak De, sekalian  mampir ke rumahmu ya? Boleh kan......?”
Nurjanah menggangguk.
“Lama aku nggak sowan beliau.......” Kata mahasiswa itu melanjutkan.

Lelaki separoh baya dengan kacamata tebal masuk ruangan langsung enuju meja yang ada di depan kursi-kursi  mahasiswa. Sebelum memberikan mata kuliah ekonomi makro, dipandanginya mahasiswa yang ada di hadapanya. Tiba-tiba dadanya berdetak ketika pandangannya tertuju pada Nurjanah. Sejenak dosen itu menghela nafas.  Astaghfirullah............” Gumam sang dosen.

Sambil memberikan mata kuliah sekali kali pandangan mata dosen itu  melirik  Nurjanah. Ada rasa tak percaya dalam hatinya. Apakah betul yang dilihatnya malam ini? Selama menjadi dosen baru kali ini ia melihat sosok mahasiswanya yang begitu lain. Betulkah ia seorang mahasiswa? Rasa takut bercampur heran dipendamnya.

Selesai memberikan mata kuliah sang dosen sengaja tidak langsung meninggalkan  ruangan. Sambil solah-olah mengemasi buku-bukunya ia amati satu persatu mahasiswa yang keluar ruangan. Keluar paling akhir mahasiswa yang tadi duduk disamping Nurjanah. Tapi di mana mahasiswa yang satu  itu?

Di luar hujan mulai turun. Dingin menembus kulit. Dan bau bunga melati mengisi ruang kuliah.
(bersambung)


Cerita Misteri “MELAMAR NURJANAH” (Episode 3)

Sisa gerimis dari hujan yang turun menjelang subuh masih menari di hamparan  pagi. Dingin leluasa menggigilkan  tubuh. Daunan basah. Jalanan hambar tertutup air.

Jarum jam di dinding kamar sudah menunjuk angka enam. Raga belum beranjak dari tempat tidurnya.
Tidak seperti biasanya, sehabis sholat subuh Raga langsung  melakukan aktivitas-aktivitas kecil untuk menunggu matahari terbit. Tapi pagi ini ia tidak melakukan itu. Selesai sholat subuh ia kembali ke tempat tidur. Udara dingin membuat Raga enggan menanggalkan selimut tidurnya. Pikirannya melayang, menembus waktu beberapa  bulan yang lalu, saat bertemu kali pertama dengan gadis yang semalam diantarnya pulang.

Malam itu selesai menikmati lontong opor di alun-alun kota, Raga menuju tempat parkir yang ada di depan mall. Suasana jalan sudah agak sepi, tidak seperti saat sore hari. Ketika hendak menyeberang jalan, Raga seperti mendengar suara orang memanggil.

“ Mas-mas.................!”
Raga menoleh ke arah datangnya suara itu. Diseberang jalan depan mall dilihatnya seorang gadis sedang berdiri melambaikan tangan ke arahnya. Di sampingnya terparkir sepada motor. Sejenak Raga ragu. Gadis itu kembali malambaikan tangan. Raga menghampirinya.
“Ada apa mbak?” Tanya Raga setelah berada di depan gadis itu.
“Tolongin dong............. motorku mogok nich.............!” Kata gadis itu sambil menunjuk motornya.
Raga mengamati motor jenis matic warna merah yang ada di depannya.  “Masak sih motor baru dua bulan keluar dari dealer mogok” Katanya dalam hati setelah melihat plat nomor motor itu. Sebenarnya raga awam soal mesin motor. Tapi berhubung dihadapan cewek ia berusaha pede.
Dicobanya untuk menyalakan mesin. Sekali.......... dua kali......... sampai tiga kali mesin motor tidak mau nyala. Raga mulai bingung.

“Belum bisa mas........?” Tanya gadis itu. Raga mengangguk. Ditatapnya sang gadis.
“Di bawa ke bengkel aja ya?” Kata Raga kemudian.
“Jam segini mana ada bengkel buka....?” Jawab gadis itu.
“Sebentar..............” Ucap Raga. Ia menoleh kanan kiri lalu berjalan menghampiri tukang parkir. Omong-omong sejenak. Tukang parkir menunjuk satu arah. Raga kembali menghampiri gadis itu.
“Di bawa ke depan masjid yuk. Kata tukang parkir di sana ada tukang tambal ban. Barangkali bisa betulin motor kamu.” Kata Raga. Gadis itu mengiyakan.

Motor dituntun Raga dibawa ke tukang tambal ban depan masjid. Gadis itu mengikuti dari belakang.
Sambil menunggu motor jadi keduanya duduk di bangku beton yang ada di dekat tukang tambal ban, di bawah pohon flamboyan.

“Maaf ya mas............. sudah merepotkan! O ya mas.........nama saya Nurjanah........” kata gadis itu sambil mengulurkan tangan. Raga menyambut uluran tangan itu. “Raga.....!”
Dan malam pun mulai beranjak larut. Mesin motor sudah bisa dihidupkan.

Raga tersenyum mengingat peristiwa itu. Dari pertemuan yang tidak disangka oleh Raga  berlanjut saling kontak lewat hp dan facebook, disamping ketemu darat. Dan bahkan keduanya sudah sepakat untuk melanjutkan kejenjang pertunangan.

“Tok tok tok tok tok...........!” Raga tergagap. Pintu kamar diketok dari luar. “Raga............ udah siang...........!” Terdengar suara ibunya dari balik pintu kamar.
Bergegas Raga bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar menuju kamar mandi.
(bersambung)

-----